MEMAAFKAN, ATAU MEMBALAS SECUKUPNYA
Suatu
hari 'Aisyah yang tengah duduk santai bersama suaminya, Rasulullah S.A.W.,
dikagetkan oleh kedatangan seorang Yahudi yang minta izin masuk ke rumahnya
dengan ucapan assamu'alaikum (kecelakaan bagimu) sebagai ganti ucapan
assalamu'alaikum kepada Rasulullah.
Tak
lama kemudian datang lagi Yahudi yang lain dengan perbuatan yang sama. Ia masuk
dan mengucapkan assamu'alaikum. Jelas sekali bahwa mereka datang dengan sengaja
untuk mengganggu ketenangan Rasulullah.
Menyaksikan
polah tingkah mereka 'Aisyah gemas dan berteriak: Kalianlah yang celaka!.
Rasulullah tidak menyukai reaksi keras istrinya. Beliau menegur, "Hai
'Aisyah, jangan kau ucapkan sesuatu yang keji. Seandainya Allah menampakkan
gambaran yang keji secara nyata, niscaya dia akan berbentuk sesuatu yang paling
buruk dan jahat. Berlemah lembut atas semua yang telah terjadi akan menghias
dan memperindah perbuatan itu, dan atas segala sesuatu yang bakal terjadi akan
menanamkan keindahannya. Kenapa engkah harus marah dan berang?"
"Ya
Rasulullah, apakah engkau tidak mendengar apa yang mereka ucapkan secara keji
sebagai pengganti dari ucapan salam?"
"Ya, aku telah mendengarnya. Aku pun
telah menjawabnya wa'alaikum (juga atas kalian), dan itu sudah cukup."
Manusia
agung, Muhammad S.A.W. ini lagi-lagi memberikan pelajaran yang sangat berharga
kepada istrinya, yang tentu saja berlaku pula bagi segenap kaum muslimin.
Betapa beliau telah menunjukkan suatu kepribadian yang amat matang dan sangat
dewasa dalam menghadapi berbagai keadaan.
Begitu
kokoh pertahanan dirinya, sehingga tidak mudah terpancing amarahnya. Suatu
pengendalian emosi yang luar biasa. Sebagai istri, 'Aisyah tentu tidak rela
manakala suami tercintanya menerima ucapan keji dan busuk sebagaimana yang diucapkan
oleh orang Yahudi. Darahnya segera mendidih, dan tanpa kendali keluarlah dari
kedua bibirnya kata-kata keji pula sebagai balasan atas mereka.
Apa
yang dikatakan oleh 'Aisyah sebenarnya dalam batas kewajaran. Ia tidak
berlebihan dalam mengumpat dan mengata-katai mereka. Ia hanya membalas secara
setimpal apa yang mereka ucapkan. Akan tetapi Rasulullah belum berkenan
terhadap ucapan istrinya. Beliau ingin agar 'Aisyah mengganti ucapannya dengan
satu kata yang lugas tapi tetap sopan. Rasulullah berkata, "Wa 'alaikum,
itu sudah cukup." Urusan salam ini nampaknya sederhana, tapi dalam Islam
mendapatkan porsi perhatian yang cukup besar. Salam merupakan pembuka kata
dalam setiap perjumpaan, baik perjumpaan di udara maupun di darat (tatap muka).
Salam bahkan menunjukkan kepribadian seseorang.
Orang
yang secara tiba-tiba berkata-kata tanpa didahului oleh salam bisa dianggap
kurang etis atau tidak sopan. Apalagi jika akan memasuki rumah orang. Bahkan
nada suara, ekspresi wajah dan gaya
penampilan ketika mengucapkan salam menjadi perhatian yang sangat besar. Lebih
dari itu, orang bisa langsung mengetahui identitas agama seseorang dari
salamnya. Jika ada penyiar televisi atau nara
sumber yang diwawancarai mengucapkan assalamu'alaikum, segera kita ketahui bahwa
orang tersebut beragama Islam. Demikian juga bila menggunakan salam yang lain.
Masalahnya
kemudian, bagaimana jika assalamu 'alaikum sudah menjadi tradisi nasional,
sehingga warga non-muslim juga mengucapkan hal yang sama? Banyak di antara kita
yang kelagapan menerima ucapan assalamu'alaikum dari kawan atau kenalan yang
nyata-nyata bukan muslim. Ada
yang menjawab dengan wa 'alaikum salam, tapi ada yang justru tidak menjawab
sama sekali.
Urusan
salam ternyata telah diajarkan oleh Islam sangat rinci sekali. Termasuk jika
kita mendapatkan ucapan assalamu' alikum dari orang non-muslim. Dalam hal ini
kita cukup menjawab mereka dengan ucapan: wa 'alikum. Kenapa demikian?
Ada dua alasan. Yang
pertama, menjaga hubungan baik dan kesopanan. Dengan ucapan wa 'alaikum mereka
merasa mendapatkan respon baik dari kita. Mereka tidak merasa diacuhkan.
Sebaliknya mereka merasa dihormati dan diterima.
Alasan kedua, dengan hanya menjawab wa
'alaikum, maka berarti kita tidak mendoakan kepada mereka. Sebab doa seorang
muslim kepada non-muslim itu tidak diterima. Kecuali mendoakan agar mereka
mengikuti jalan kebenaran, yaitu Islam. Dengan Islam mudah-mudahan mereka
selamat di dunia dan di akhirat.
Nabi
Ibrahim adalah seorang anak yang sangat mencintai dan menghormati ayahnya.
Itulah sebabnya ia berdoa agar Allah menyelamatkan bapaknya.
Akan tetapi perbuatan Ibrahim itu mendapat
teguran dari Allah, karena bapaknya masih musyrik, menyembah berhala.
Demikian
juga Nabi Muhammad S.A.W. Beliau sangat mencintai Abu Thalib, pamannya. Lewat
perlindungan pamannya inilah jiwanya selamat dan misinya berhasil. Tapi karena
sampai akhir hayatnya Abu Thalib belum juga menyatakan beriman kepada Allah,
maka Muhammad S.A.W. terhalang mendoakannya.
Inilah
adat kesopanan yang diajarkan Islam. Kepada orang yang tidak seagama, kita
tetap harus berbuat baik. Apalagi jika orang tersebut telah berjasa kepada
kita. Kepada orang tua yang non-muslim misalnya, kita harus berbuat baik.
Termasuk jika mereka memerintahkan berbuat maksiat, kita harus tetap berbuat
baik kepada mereka, walaupun perintahnya tidak boleh kita jalankan. Demikian
juga kepada orang yang jelas-jelas menunjukkan permusuhannya, kita tidak boleh
terpancing berbuat keji dan kotor. Sebisa mungkin kita mengendalikan diri.
Jika kita berniat membalasnya, maka balasan
itu hendaknya setimpal, tidak boleh berlebihan. Pilihlah kata-kata yang tegas,
lugas, tapi tetap sopan.
Dalam
ajaran Islam membalas itu tidak terlarang, akan tetapi memaafkan itu lebih
baik. Jika benar-benar kita ingin membalas, balasan itu hendaknya tidak lebih
dari yang ia terima. Berlebih-lebihan dalam pembalasan merupakan tindak
kezhaliman. Allah berfirman:
"Bulan haram dengan bulan haram, dan
pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishash. Oleh sebab itu barangsiapa
yang menyerang kamu, maka seranglah ia seimbang dengan serangan terhadapmu.
Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah bersama orang-orang yang
bertaqwa." (QS al-Baqarah: 194)
Tidak seperti agama lain yang mengajarkan
bahwa bila pipi kananmu dipukul berikan pipi kirimu. Bila jubahmu diminta
berikan bajumu.
Ajaran
ini justru tidak manusiawi, sebab sangat memberatkan mereka yang dizhalimi.
Islam mengajarkan agar sesorang bisa memberi balasan setimpal dengan apa yang
telah diterimanya. Meskipun demikian, memaafkan itu jauh lebih baik.
Seperti
dalam kasus 'Aisyah di atas, jelas bahwa 'Aisyah sangat bisa membalas ucapan
keji orang Yahudi. Apalagi saat itu Rasulullah bukan saja sebagai pemimpin
ruhani, tapi sekaligus merupakan kepala Negara yang berkuasa. Apa susahnya
membalas orang yang menghinanya, sedang menjebloskan mereka ke tahanan saja itu
merupakan haknya. Tapi Rasulullah sebagai manusia agung memilih untuk memberi
balasan yang secukupnya.
Keperkasaan
seseorang tidak bisa diukur dari kekuatan fisiknya. Orang yang jantan, bukan
mereka yang ahli bertinju, bukan mereka yang disetiap pertandingan tak
terkalahkan. Menurut determinasi Islam orang yang kuat adalah mereka yang di
kala marah bisa menahan dirinya. Rasulullah bersabda, "Bukan dikatakan
pemberani karena seseorang cepat meluapkan amarahnya. Seorang pemberani adalah
mereka yang dapat menguasai diri (nafsu)-nya sewaktu marah." (HR Bukhari
dan Muslim)
Menahan
marah bukan pekerjaan mudah. Menuntut perjuangan yang amat berat lagi susah,
apalagi bagi mereka yang sedang mempunyai kemampuan dan kekuasaan untuk
meluapkan kemarahannya. Akan tetapi justru di sinilah seseorang itu dinilai,
apakah layak disebut ksatria atau tidak. Seorang ksatria adalah yang mampu
menahan marahnya, akan tetapi jika kezhaliman itu sudah melampau batas, ia
mampu membalasnya, setimpal dengan perlakuan orang tersebut. Orang yang seperti
ini akan mendapat jaminan dari Allah, berupa kecintaan yang mendalam.
Rasulullah
bersabda: "Ada tiga hal yang jika dimiliki seseorang, ia akan mendapatkan
pemeliharaan dari Allah, akan dipenuhi dengan rahmat-Nya, dan Allah akan
senantiasa memasukkannya dalam lingkungan hamba yang mendapatkan cinta-Nya,
yaitu (1) seseorang yang selalu bersyukur manakala mendapat nikmat dari-Nya (2)
seseorang yang mampu meluapkan amarahnya tetapi mampu memberi maaf atas
kesalahan orang, (3) seseorang yang apabila sedang marah, dia menghentikan
marahnya." (HR Hakim)
Dalam
menghadapi situasi yang cenderung memancing emosi, manusia dapat dibedakan
dalam tiga tipe. Pertama, orang yang tidak merasa marah padahal penyebabnya
ada. Kedua, orang yang merasa marah tetapi mampu menahan amarahnya dan mau
memaafkan. Sedang ketiga, mereka yang merasa marah, mampu menahan marah, tapi
tidak bisa memaafkannya. Dari ketiga kategori ini tentu saja golongan pertama
yang lebih utama. Mereka disebut telah memiliki hilm, sifat sabar yang sangat
besar. Sabar di atas sabar. Sifat ini telah dimiliki Rasulullah S.A.W., dan
telah dibuktikan dalam berbagai peristiwa.
Tentang
sifat hilm ini Rasulullah bersabda, "Maukah aku ceritakan kepadamu tentang
sesuatu yang menyebabkan Allah memuliakan bangunan dan meninggikan derajatmu? Para sahabat menjawab, tentu. Rasul bersabda, 'Kamu
bersikap sabar (hilm) kepada orang yang membencimu, memaafkan orang yang
berbuat zhalim kepadmu, memberi kepada orang yang memusuhimu, dan menghubungi
orang yang telah memutuskan silaturrahim denganmu.'" (HR Thabrani)_
Post a Comment for "MEMAAFKAN, ATAU MEMBALAS SECUKUPNYA"